Oleh Dian Onasis
Hari ini, Bumi menyapa pagiku dengan senyum cerah. Meski aku tahu, tidak selamanya senyum itu akan terus ada. Barusan aku melihat seorang laki-laki membuang sampah tidak pada tempatnya. Meski demikian, Bumi tetap berbaik hati memberikan udara bersihnya.
Meski, tak lama udara bersih itu dihadiahkannya. Karena, jika siang menjelang, udara telah berubah warna dan rasa. Aku tak sanggup menghisap terlalu lama asap knalpot dari berbagai kendaraan yang sudah uzur usianya. Tidak layak jalan, namun dipaksakan juga oleh pemiliknya.
Pagi ini, aku berjumpa seorang Ayah. Mengendarai sepeda dan menutup mulutnya dengan kain khusus penutup mulut.
“Selamat Pagi Ayah, hendak bekerjakah ?” Sapaku ramah.
“Iya…” Jawabnya penuh kehangatan. Namun aku tak bisa melihat senyuman karena tertutup kain.
“Bike to Work?” Tanyaku tanpa menunggu jawaban lama, karena anggukan kepala segera meresponku. Aku menyukai si Ayah. Ia termasuk orang-orang yang sadar akan penitipan diri Bumi padanya.
Sejak manusia pertama kali diturunkan Tuhan ke bumi, maka sejak itu Bumi dititipkan Tuhan kepada manusia. “Ini Bumi, AKU titipkan kepadamu, wahai Manusia, untuk dijaga dan diserahkan kepada generasi penerusmu.” Demikian aku yakin Tuhan berbicara dengan manusia pertama di bumi. Bumi tak pernah diberikan kepada manusia. Ia hanya meminta untuk dijaga agar generasi berikutnya dapat turut menikmati setiap jengkal hikmah dan nikmat dari Bumi ini.
Aku teringat pohon mangga depan rumah. Ia telah tumbuh belasan mungkin puluhan tahun, jauh sebelum diriku menempati rumah ini. Tak ada niat sedikitpun untuk menebangnya. Meskipun satu demi satu banyak pohon mangga di sekitar rumah telah ditebang oleh para pemilik tanah. Alasannya, karena sang akar pohon telah merusak jalan, serta khawatir ditimpa pohonnya jika angin bertiup kencang.
Aku cukup sedih juga melihat kematian demi kematian pohon mangga tetangga. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menyatakan keberadaan dirinya di Bumi ini. Namun cukup satu hari saja, si pohon mangga tak memiliki nyawa yang terhubung dengan tanah. Padahal keberadaan sebuah pohon itu sangat besar hikmahnya. Oksigen yang ia hasilkan untuk kepentingan manusia. Serapan air dalam akarnya membantu penyerapan air hujan yang makin sulit dilakukan karena semua tanah tertutup aspal dan semen. Daun-daunnya memberikan kenyaman perlindungan dari panasnya sinar matahari di siang hari. Sayangnya tak semua orang menyadarinya. Aku turut berduka atas kematian para pohon-pohon mangga di komplek perumahanku.
Aku juga patah hati melihat foto-foto lama sungai Ciliwung. Melihat para Noni-Noni Belanda menyelusuri keindahan kota Batavia dengan perahu cantiknya. Jakarta nampak bak kota Venesia. Hanya butuh waktu tak sampai 100 tahun untuk menjadikan sungai Ciliwung sebagai kambing hitam segala keresahan masyarakat. Mulai dari bau sungai yang menyengat, warna air sungai yang menghitam dan tumpukan sampah yang tak indah di pandang.
Belum lagi, tuduhan sungai Ciliwung sebagai sungai yang menyebabkan seringnya banjir di ibukota Negara. Padahal… Apa salah si Ciliwung jika tubuhnya sudah tak lagi dihargai manusia Jakarta yang dititipkan oleh generasi sebelumnya ? Tak ada rasa bersalah ketika sebuah sampah dilempar begitu saja ke dalam sungai. Tidak ada perasaan sedih melihat hitamnya warna air sungai akibat banyaknya limbah rumah tangga yang mengalir setiap hari.
Apa penyebab semua ini ?
Aku yakin, penyebab utamanya tak lain dan tak bukan adalah karena sikap manusia yang merasa menguasai Bumi. Karakter manusia yang merasa diberikan dan mempunyai hak memiliki sepenuhnya atas diri Bumi. Padahal sudah jelas, Bumi ini hanya dititipkan. Bumi diamanatkan oleh Tuhan kepada manusia untuk dijaga kelestarian hidupnya. Tidak hanya untuk diri manusia saat ini, namun juga untuk generasi berikutnya. Anak cucu manusia itu sendiri.
Sampai kapankah keburukan atas diri Bumi akan berlangsung ?
Mungkin, hingga diri manusia memahami makna kata “diamanatkan”. Makna diwasiatkan untuk menjaga kelestarian Bumi. Jika tumbuh hasrat menjaga tumpangannya di dunia ini, maka akan banyak perilaku positif dalam menjaga kehidupan Bumi yang makin tua ini.
Mari dimulai dari keluarga kita. Para anak-anak sejak mulai bisa berjalan, kita kenalkan dengan yang namanya kotak sampah. Supaya Bumi merasa nyaman, karena tubuhnya tak melulu berisi sampah. Kita kenalkan pada para batita yang baru belajar menggambar, ada kertas bekas yang dapat digunakan.Karena hemat kertas berarti hemat pohon yang ditebang.
Kita latih para batita dan diri kita sendiri untuk tidur dengan mematikan lampu. Serta selalu mematikan alat-alat elektronik yang tidak digunakan. Mari kita ajak anak-anak untuk fokus dan berkreatifitas pada benda-benda disekitarnya yang tak membutuhkan energy listrik. Ada banyak buku yang bisa dibaca. Ada banyak permainan tradisional yang bisa diajarkan. Bahkan kita dapat meningkatkan daya kreasi anak-anak dengan mengajarinya tentang mendaur ulang segala jenis benda yang memungkinkan di sekitar rumah. Kebiasaan dari rumah ini, terus kita tularkan kepada teman, tetangga, saudara dan kolega kantor. Memulainya dari hal kecil, berharap memiliki efek yang cukup besar bagi kelestarian diri Bumi.
Pagi ini, aku kembali tersenyum pada Bumi. Karena sepertinya Bumi berjanji tak akan menangis lagi hingga banjir tanahku, jika semua manusia berjanji menanam kembali pohon-pohon yang telah mereka tebang. Bumi juga berikrar tak akan mengurangi udara bersih bagi manusia, jika manusia berjanji untuk menggunakan kendaraan yang ramah lingkungan. Sepertinya Bumi juga sepakat padaku dan manusia lain. Ia tak akan marah pada manusia, jika manusia menjaga Bumi sebagai sebuah amanah. Karena Bumi tahu, ia tak hanya hak bagi manusia hari ini. Bumi adalah Hak bagi generasi berikutnya. Bumi hanya dititipkan pada manusia hari ini, agar dapat dinikmati oleh anak cucu manusia nanti.
***
gambar meminjam dari sini :
gbr bumi : http://www.kemalstamboel.com/wp-content/uploads/2009/02/manajemen-bumi-kita-compressed-300x300.gif
gbr pohon mangga : http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/b/bb/Mangifera_indica_old.JPG/200px-Mangifera_indica_old.JPG
gbr sungai ciliwung : http://multiply.com/mu/djawatempodoeloe/image/98/photos/391/500x500/2/btv-BOW.JPG?et=0WADxeVYvDlJZiVCqjChag&nmid=76424202
No comments:
Post a Comment